Rabu, 18 April 2007

Catastrophe


Kesadaran seorang sutradara untuk menyajikan pilihan pertunjukan harus selalu diujikan saat berhadapan dengan penontonnya. Memilih bahan komunikasi dan memilih cara berkomunikasi. Tapi itu juga bukan sebuah jaminan keberhasilan komunikasi. Penonton sangat heterogen dan kepentingannya sangat majemuk. Ada yang menonton karena ‘harus menonton, menonton karena diajak kawan, menonton sebagai tenggang rasa, menonton karena tak ada kegiatan lain, menonton karena ingin belajar, ingin menemani kekasihnya, ingin mencari kelemahan tontonan atau ingin mencari kepuasan estetik dan masih banyak alasan yang tak selalu ada dalam pertimbangan penyutradaraan. Begitu juga penonton dari latar belakang sejarah perjalanan hidup yang beragam sehingga bisa jadi sebuah pertunjukan tak bisa selalu menjalin koneksi yang berimbang dengan semua penonton.
Kesadaran diatas yang juga saya pakai untuk bersikap. Jadi silahkan melihat pertunjukan dengan cara anda masing-masing. Tak perlu bersusah payah menemukan yang sulit ditemukan. Jika mata tak bisa menikmati cobalah dengan telinga, jika pikiran tak bisa menikmati cobalah dengan hati. Atau pakailah semuanya, jika semua sudah dipakai tetap tak bisa menikmati, mungkin kita belum jodoh. Anda boleh mempersunting pertunjukan yang lain atau saya yang harus mempercantik diri. Sebagai pengantar tetap saya harus sampaikan.
Menonton Zero Matrix, ini bukan sebuah perjalanan yang harus dilihat dengan menengok sekian panjang perjalanan anda karena ini bukan cerita berplot yang bisa diperdebatkan dramatiknya. Tengok saja satu momen dimana anda tiba-tiba berada dilorong panjang dan tak tahu akan berakhir dimana, atau dalam labirin dan tak ada jalan keluar. Atau dengan alasan yang tak jelas hidup anda tiba-tiba terasa kosong. “Zero Matrix” adalah hasil tangkapannya . Seperti momen-momen fotografis yang menghentikan perjalanan dengan tiba-tiba. Mungkin juga momen abstrak yang di-klik dari pusaran emosi. Tak ingin membuat solusi, tak hendak beratraksi tentang kepintaran berpikir. Cukup untuk berbagi bahwa kita akan atau pernah atau sedang berhadapan dengan situasi kosong yang kadang menghentakkan tubuh kita merapat dengan dinding untuk dapat bertahan berdiri. Kemudian belajar pada kekejaman ‘waktu’ yang tak memperdulikannya. Sesedih apapun kita waktu tetap berputar…, pesawat harus menepati jadwalnya, bayi-bayi harus lahir, padi-padi tetap tumbuh, hujan tetap jatuh, kelelahan harus disandarkan.. dan tak ada yang harus menengok kekosongan kita.
Menonton Catashtrophe, ya silahkan ditonton saja. Kepiawaian Beckett sudah tak teragukan untuk menangkap fenomena absurditas. Tapi pertunjukannya selalu boleh diragukan karena tak selalu bermakna tunggal. Interpretasi juga boleh meleset, karena memainkan naskah Beckett seperti menembak target bergerak. Sesekali kena sayap, sesekali melukai kaki, sesekali memecahkan kepala, kadang kadang meremukkan ulu hati. Apakah kita selalu bisa membaca pikiran?
Ya saya sedang berkompromi dan membuat deal dengan Beckett. Saya tetap mengajukan penawaran padanya sebagaimana para aktor juga mengajukan penawaran ciptaannya.
Dalam Catashtrophe, Beckett secara sangat lihai meminjam adegan proses penyutradaraan untuk menggambarkan gesture kekuasaan. Mungkin juga sebuah kabar duka dari dunia yang sedang gemar menguliti tubuh-tubuh sengsara dan mengoleksi mayat.

Tidak ada komentar: